Banyak kalangan berbicara dan mencoba mendefinisikan tentang makna dari cinta itu sendiri. Dengan segala dasar pemikiran dan latar belakang yang berbeda, tentu akan menghasilkan definisi yang berbeda pula. Berbagai argumen telah dikemukakan, bermacam analisis pun juga telah diupayakan. Namun, kembali lagi, cinta tetap sesuatu yang susah untuk didefinisikan. Sehingga sampai sekarang, tidak ada satu definisi cinta yang disepakati oleh seluruh manusia. Suatu hal yang wajar menurut saya, karena cinta itu tidak dapat dikatakan, namun hanya dapat dirasakan.
Oleh sebagian orang telah berhasil melabuhkan cintanya kepada mahligai pernikahan, mungkin akan tahu bagaimana keindahan cinta itu sendiri (meski harus diakui tidak ada standard yang pasti tentang makna keindahan itu sendiri). Walau secara jujur juga harus kita katakan bahwa cinta juga selalu memiliki sisi yang membuat negative emotions seseorang bergejolak. Namun, itu adalah hal yang wajar dan terlalu lumrah saya rasa. Pernikahan tanpa sesuatu yang membuat perasaan nggak enak bukanlah sebuah pernikahan, namun lebih berupa mimpi belaka. Istilah Bunda saya, pernikahan tanpa masalah seperti mobil tak beroda. Nggak bisa jalan. Sehingga cepat atau lambat, mereka akan terpaku di tempat dan perlahan karam di telan ombak kehidupan. Suatu hal yang tentu saja tidak pernah diinginkan oleh setiap pasangan yang menikah.
Sedangkan pada sebagian orang lainnya, yaitu bagi mereka yang “gagal” untuk melabuhkan cinta, tentu akan memiliki ekspresi yang berbeda. Ada yang marah setengah mati, ada yang menjadi dendam seumur hidup, ada yang menjadikan racun serangga sebagai pelarian, ada yang lebih senang bergelantungan di pohon dengan leher terikat, ada yang mendadak hobi lompat bebas dari ketinggian, bahkan sampai ada yang memilih untuk hidup melajang sepanjang usia ketika pujaan hati tak dapat teraih. Wuih…
Pada kesempatan kali ini saya tidak ingin membahas tentang keindahan cinta dalam pernikahan. Selain karena saya sendiri belum mengerti seperti apa dan bagaimana keindahan pernikahan itu, juga saya rasa sudah sangat banyak buku yang membahas masalah tersebut. Karena itu saya ingin sedikit membicarakan tentang hal yang kedua, yaitu bagaimana merasa sukses dengan kegagalan dalam melabuhkan cinta. Sesuatu yang paradoks bukan? Seperti dalam dunia programmer, di mana antara kenyamanan dan keamanan adalah sesuatu yang pasti akan selalu berlawanan. Namun meski demikian, bukan berarti tidak dapat didamaikan alias diminimalisir, apalagi disandingkan secara sejajar.
Secara normal, tentu kita sepakat bahwa tidak ada seorangpun yang ingin merasakan negative emotions berupa sedih, sakit hati, kecewa, marah, dan lain sebagainya. Namun, hidup bukanlah sebuah jalan yang lurus tanpa hambatan. Banyak duri, kerikil, dan lubang yang siap menjegal kaki jika tidak hati-hati dalam melangkah. Jangankan dalam berinteraksi dengan manusia lain, terkadang negative emotions tiu sendiri bisa muncul akibat perilaku kita sendiri yang tidak tepat.
Kembali ke laptop; alias ke pokok pembahasan. Bahwa dinamika cinta itu hanya akan berujung pada dua hal, diterima (sukses) dan ditolak (gagal). Sebenarnya kedua-duanya adalah hal yang sama-sama baik dan positif, hanya saja ketidakmampuan kita dalam mengelolanya itu yang terkadang mengakibatkan munculnya perasaan negatif itu.
Saya teringat sebuah kisah tentang seorang ikhwan –di antara sekian banyak ikhwan- yang juga pernah mengalami dan merasakan pahitnya “kegagalan”. Panggil saja dia dengan AN. Saya tahu persis bagaimana besarnya perasaan AN kepada si akhwat. Seandainya ada satu kata yang bisa menggambarkan bagaimana bentuk dan besarnya perasaan itu, tentu mungkin telah dia ungkapkan. Saya rasa, kata cinta, masih belum mampu mencakup bagaimana bentuk perasaannya tersebut.
Sekian lama perasaan itu terus dipendam sembari terus berharap suatu saat ia berani untuk mewujudkan cintanya itu dengan menikahi si akhwat tersebut. Setahun lebih ia tetap berkutat dalam kesendiriannya itu untuk menjadi seorang pendamba saja. Hanya lewat tulisan-tulisan maupun curhat-curhat dengan sahabat-sahabatnya saja ia mengekspresikan perasaannya itu. Bahkan sampai ia bekerja di sebuah institusi pemerintah di luar daerah pun, perasaan itu tetap kokoh menghunjam dalam hatinya. Tapi, lagi-lagi ia hanya sanggup menjadi seorang pendamba.
Namun suatu hari, dengan keberanian –lebih tepatnya nekad-, ia tiba-tiba saja mengutarakan niatnya kepada si akhwat, meski dengan hanya sebuah bahasa isyarat. Namun, taqdir berkata lain. “Afwan akh, ana telahada pilihan yang lain. Ana mencintainya, dan diapun mencintai ana. Insya Allah kami tinggal menunggu waktu saja. Semoga anta segera mendapatkan bidadari yang anta harapkan.” Demikianlah kira-kira ucapan si akhwat tersebut. Si ikhwan pun ditolak.
Jujur, saya bisa menangkap dan merasakan bagaimana sakit dan bahkan kecewanya ia. Namun, entah mengapa, saya tidak melihat ada sebuah beban atau rasa sakit yang terpancar pada wajahnya. Bahkan sebaliknya, senyuman dan ucapan syukur senantiasa ia ucapkan. Benar-benar suatu hal yang aneh menurut saya.
Maka, saya mencoba menanyakan hal ini kepada AN. Dengan tenang ia menjawab, “Alhamdulillaah akh… Ana nggak apa-apa kok. Kalau dibilang sakit, ya sedikit. Kalo dibilang kecewa yang pastilah ada. Tapi kembali lagi, ana sangat bersyukur dengan semua ini. Mungkin agak aneh ya, dapat sesuatu yang agak menyakitkan kok bersyukur… Sebenarnya, pertama, ana bersyukur karena ana telah behasil menyampaikan keinginan ana untuk menikahi dia. Anta tahu kan, ana dari dulu paling nggak berdaya kalo berhadapan ma dia. Kedua, ana bersyukur karena hati ana sangat lega udah dapat jawaban, meski jawabannya nggak sesuai dengan yang ana harapkan. Ketiga, ana bersyukur karena Allah udah membuat ana mencintai dia, dan ini jarang-jarang lho akh, ana bisa kayak gini. Keempat, ana bersyukur karena ternyata dia bisa bahagia, meski bukan dengan dan karena ana.”
“Maksudnya?”, tanya saya. Dia menjawab, “Ana mencintai dan ingin menikahinya karena ana ingin membahagiakannya. Tetapi, jika ternyata tanpa ana ia bisa merasa bahagia, kenapa ana harus bersedih? Ana memang sudah berniat dalam hati untuk berusaha membuatnya bahagia dengan cara apapan. Dan mungkin salah satunya dengan merelakan ia bersama ikhwan pilihannya itu. Dan saya bisa menangkap sekaligus merasakan kebahagiaan yang ia rasakan saat ini dengan ikhwan pilihannya tersebut. Jadi kenapa ana harus khawatir… Sekali lagi ana tegaskan, bahwa ana mencintainya bukan karena ana ingin memilikinya, namun semata-mata ingin membuatnya bahagia. Jika ternyata saat ini ia bisa merasakan kebahagiaan, maka berarti keinginan ana sudah tercapai bukan…?”
Saya bertanya lagi, “Anta tidak sakit hati atau kecewa gitu…?”. Dengan kembali tersenyum dia menjawab, “Sedikit sih. Tapi saya memang sudah siap untuk sakit hati atau kecewa. Karena cinta itu hanya bermuara pada dua pilihan, iya atau tidak. Diterima atau ditolak. Kalu nggak siap ditolak, ya nggak usah nembak. Kalo nggak siap sakit hati, ya nggak usah nikah. Kita kan nggak pernah tahu apa yang akan kita hadapi, jadi coba saja. Apapun hasilnya yang penting kita sudah berusaha. Saya bahagia kok ditolak, seperti saya bahagia jika seandainya saya diterima.”
“Yach, kegagalan adalah awal dari keberhasilan akh…”, kata saya. Sambil kembali tersenyum dia berkata, “Alhamdulillaah ana gak ngerasa gagal akh. Ana justru merasa telah berhasil.” “Maksudnya?”, Tanya saya yang memang bingung. Kembali tersenyum dia berkata, “Ya, setidaknya ana telah berhasil dalam 2 hal. Pertama, ana berhasil jujur pada diri ana pribadi dan juga padanya, bahwa ana memang benar-benar memiliki niat yang tulus dan serius padanya. Kedua, ana telah berhasil membuat dia bahagia dengan merelakannya bersama dengan orang yang dia cintai.”
“Anta aneh…!!!”, ujar saya. Sambil tersenyum dia berkata, “Cinta memang sangat aneh akh. Mungkin sudah saatnya kita harus sedikit merubah paradigma berpikir kita. Cinta itu bukan untuk memiliki, tapi untuk membahagiakan. Jika kita mencintai untuk memiliki, maka kita mencintainya seperti cinta seorang diktator, yang akan melakukan segala cara untuk memilikinya sehingga cenderung bersikap egois dan mengekang. Jika kita mencintai untuk membahagiakannya, maka kita mencintainya seperti cinta orang tua, yang akan melakukan segala cara untuk membuatnya merasa nyaman dan bahagia, meski mungkin ia tidak sadar dan tidak mengakui cinta kita.”
“Ana tambah pusing… Trus apa ini artinya anta sudah berhenti untuk mengejarnya?”, tanya saya kemudian. Dia menjawab, “Untuk mengejarnya mungkin iya akh. Tapi untuk berharap, ana masih belum berpikir untuk berhenti. Karena ana sangat ingin dia bahagia karena kerja keras ana akh, bukan karena keringat orang lain. Yach, paling tidak sampai kenyataan berkata bahwa ana udah tidak punya peluang lagi…”
Saya memang tidak sepenuhnya mampu mencerna bagaimana jalan pikiran teman saya itu. Tapi paling tidak, saya bisa melihat niat tulus dan besarnya cinta yang ia miliki pada si akhwat itu. Tapi, seperti yang ia bilang, cinta itu hanya bermuara pada dua hal, diterima atau ditolak. Bahagia atau sengsara. Keduanya adalah dua hal yang berbeda, namun mempunyai esensi yang sama.
Pusing ya…? Sama…! Namun, ada satu pesan yang bisa saya maknai dari kisah sahabat saya tersebut, bahwa :
“Cinta adalah bagaimana engkau membahagiakan orang yang engkau cintai. Dengan begitulah engkau merasa bahagia, dan dengan begitulah engkau mencintainya.
Cinta adalah bagaimana engkau bahagia saat orang yang engkau cintai merasa bahagia. Dengan begitulah engkau merasa bahagia, dan dengan begitulah engkau mencintainya.”
Namun, apapun persepsi anda tentang cnta, atau bahkan tenatng sahabat saya tersebut, bahwa kenyataannya memang beginilah cinta. Tidka ada satu katapun -saya asa- yang dapat menggambarkan dan mengejawantahkan kata yang penuh misteri ini.squadkuna
dicapai karena cinta. Keenam, dari hukum atau justifikasi yang
terkait dengan cinta. Oleh sebab itu, muncullah berbagai definisi cinta yang
diungkapkan banyak orang. Terkadang, tidak sepenuhnya salah, namun sama sekali
tidak bisa menjadi definisi cinta itu sendiri. Bagaimana contoh definisi-definisi
tersebut? Insya Allah akan kita bahas pada artikel selanjutnya. squadkuna
No comments:
Post a Comment